Rui-Rei punya Mbah Buyut di Okayama. Liburan musim panas tahun ini kesampaian juga kita ketemu langsung dengan beliau berdua. Mbah buyut laki usianya 92 tahun, sedang Mbah Buyut perempuan usianya 86 tahun.
Setelah mampir di Nara, ngelihat kuil Todai dan ketemu kijang kijang di taman Nara . Lalu bablas di Osaka, nginep di hotel Universal Port, esoknya main seharian di Universal Studios Japan, trus malamnya baru merambah Okayama, nginep semalam di business hotel kecil (karena bapak-e arek arek sudah teler banget harus nyetir sendirian), trus esoknya ke kota Kurashiki, ngelihat kompleks bangunan tua, dan sehabis makan siang barulah kita bener bener cabut ke rumah Buyut yang jaraknya gak sampai se-jam dari pusat kota Kurashiki, Okayama.
Rumah Mbah Buyut tua banget. Serasa masuk ke museum rumah kuno Jepang. Seputar rumah dikelilingi pagar tembok tinggi dan ada pintu gerbang besar dari kayu. Masuk ke halaman ada taman ala jepang dengan kolam dan tanaman bonsai, sayang sekali tamannya sudah gak terurus. Kolamnya hijau berlumut dan di sana sini ada mie putih yang teronggok – heran khan, ternyata Buyut bilang mie putih itu sengaja dilempar ke kolam buat makanan ikan. Di halaman juga banyak ceceran bekas nasi, kata Buyut, itu untuk makanan kucing liar. Rui udah ribut aja, “bau bau” katanya, hihi.
Kedua buyut masih sehat. Waktu kita sampai, buyut laki sedang nebang bambu di belakang rumah, katanya ada yang mau beli bambu. Buyut perempuan juga walaupun harus pakai tongkat, masih kuat jalan kaki di jalanan naik turun ngelihat kebun atau bersih bersih makam (waduh makamnya seram, terletak di lereng gunung, di rimbunan bambu bambu.... aku gak sempat ngambil photo, wong jalanannya gak rata banyak kerikil dan batu, mana banyak banget serangga, pulang dari makam kita bentol bentol deh).
Walaupun Buyut masih kuat jalan, tapi beliau2 sudah gak mampu lagi naik tangga di rumah mereka sendiri (bangunan rumah Buyut ada 2 lantai, selama ini beliau2 melakukan aktifitas hidup di lantai bawah aja). Tangga untuk menuju lantai atas emang model lama, curam banget, jadi Buyut bilang sudah lebih dari 10 tahun mereka gak naik ke lantai atas. Waktu Rui ngajak lihat ke lantai atas, wow! Suasana nya kayak rumah hantu aja, kamar2 kosong, mebel & pajangan photo berdebu, boneka boneka Jepang kuno, korden bolong bolong dimakan ngengat, sarang laba laba.... hiiiii. Dan ketika kita turun ke bawah, telapak kaki kita jadi item banget karena menapaki debu yang sudah bertahun tahun gak pernah dibersihkan.
Kita juga sempat ketemu Oji (=paman) adiknya papa mertuaku. Beliau bujangan dan kerjanya saben hari ya bantuin Buyut ngurus sawah dan kebun. Iseng juga kita ngikut Oji ke sawah yang lagi ditanami padi. Oji gak pernah pakai pestisida, hama dibasmi dengan cara membakar gundukan jerami di seputaran sawah. Dan kita (orang kota yang nggak ngerti apa apa hihi), dalam sekejap sudah berada di dalam lingkupan asap yang bikin mata pedih. Pulang dari sawah, kita semua jadi bau sangit.
Kedua buyut tahu bahwa aku asal Indonesia. Begitu ketemu aku, Buyut laki langsung cerita tentang pengalamannya di jaman perang waktu dikirim ke Birma. Setelah dari Birma, sebenarnya beliau akan dikirim ke pulau Jawa, tapi perang keburu selesai. Aku sempat bengong waktu Buyut bicara, bukannya apa, aku nggak ngerti blas apa yang beliau omongin. Ngomongnya pake bahasa jepang sih, tapi logatnya lain banget, kupingku sampai serasa keriting. Akhirnya mama mertua deh yang jadi “penerjemah”. Gak cuma aku, Rui juga gak ngerti dengan logat daerah Okayama. Malah waktu Oji ngomong, Rui sempat terpingkal pingkal (aduuuh, anak ini jujur banget sih, aku sampai takut kalau kesannya jadi gak sopan gitu).
Malam itu juga kita cabut dari rumah Buyut. Bukannya gak mau nginep, tapi rasanya emang lebih baik begitu daripada merepotkan buyut. Prihatin juga sebenarnya, saking waktunya habis buat ngurus sawah dan kebun, sampai2 rumah sendiri gak terawat. Tapi mungkin juga karena selalu menyibukkan diri itu Buyut bisa panjang umur.
Di perjalanan pulang, mama mertua nembak aku, gimana kalau seandainya nanti harus tinggal di desa buat ngurus sawah peninggalan buyut. Pertanyaan yang susah dijawab. Kalau anak anak masih kecil rasanya lebih baik tinggal di kota saja yang fasilitas sekolah, rumah sakit, dll lebih lengkap. Tapi entahlah kalau anak anak sudah dewasa nanti, sudah bisa mandiri, mungkin kita bisa pulang desa. Tapi kalau sudah terbiasa tinggal di kota, rasanya susah juga ya kalau tahu tahu harus jadi petani.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
senang juga membaca perjalananmu sklg ke rumah "Buyut"Kasihan juga ya Kenji San harus stiren sendirian,apalagi perjalanan jauh.Namun inilah wisata n ziarah keluarga yg menambah kekerabatan semakin kental n doa2nya dari sesepuh bisa menambah kebahagiaan dan kesejahteraan dlm hidup.
Dari sinilah ada pembelajaran tentang kehidupan,terutama pd anak2.Tapi peliharaannya ikan n kucing,[biasanya kalau di Ind ayam dan ternak serta burung berkicau].Tampaknya "gemi" dan sayang pd sisa makanan,sehingga di berikan ikan/kucing dan lagi hidupnya penuh damai sehingga berumur panjang.Smg bpk/ibuk juga bisa seperti buyut [umur panjang dan sehat n tidak pikun]
salam eyang unt klg disini.
wah sepertinya keluarga yang menyenangkan
gimana rasanya tinggal ma menyesuaikan diri di negri orang??? gak kebayang deh
apalagi jepang... hohoho pengin bgt ke sana
two thumbs up... menyenagkan baca pengalamannya ...
nice, salam kenal dari jogja
Post a Comment